Rabu, 28 April 2010

Skala Moralitas Adalah Keharusan

Oleh: Iqbal Huda Amanullah

Masih ingatkah kita akan skandal yang dilakukan oleh seorang seorang pejabat dewan yang berinisial MM? Masihkah kurang pemberitaan tentang banyaknya abdi negara yang tiba-tiba kepergok sedang melakukan tindakan tidak terpuji (mabuk, zina, ngefly)? Masihkah semua itu kurang untuk membuat kita sadar bahwa walaupun setiap orang memiliki hak tetapi mereka memiliki kewajiban kepada Tuhan untuk menghindari perbuatan-perbuatan tindakan tidak terpuji itu? Jika masih merasa kurang, berarti orang tersebut sadar memiliki hak tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka memilki kewajiban kepada Tuhan mereka. Mereka meletakkan hak mereka di atas kewajiban mereka. Logikanya, mereka mau uang tetapi tidak mau keluar keringat.


Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat sekarang ini. Ketika Mendagri mendukung skala moralitas haruslah dimasukkan ke dalam undang-undang pemilihan kepala daerah, sebagian orang menentang dengan alasan itu adalah hak warga untuk menjadi pemimpin meski ia adalah seorang pemabuk atau pezina sekalipun.

Ramainya penyanyi-penyanyi dangdut erotis (bahkan ada yang pernah melakukan zina) dicalonkan menjadi kepala daerah adalah indikasi bahwa bangsa ini sedang dikendalikan oleh para perusak yang notabene adalah mereka yang mencalonkan. Betapa tidak? Jika yang dicalonkan seperti di atas, maka berarti partai yang mencalonkan justru sedang melecehkan rakyat. Ibarat jual beli, rakyat sebagai pembeli justru ditawari barang yang cacat dengan kualitas yang buruk pula.

Rakyat memang punya nurani, rakyat memang punya akal pikiran. Tapi apakah tidak cukup banyaknya kasus korupsi dan munculnya markus menjadi bukti bahwa para pelakunya sebenarnya punya nurani dan akal pikiran, tetapi nafsu mengendalikan mereka. Jika demikian, apakah ada jaminan jika mayoritas rakyat negeri ini akan memilih dengan nurani dan akal pikiran mereka? Siapa yang akan menjamin? Bukannya tidak percaya terhadap rakyat, tetapi ini adalah soal pemimpin, ini adalah soal negara.


Belajar Dari Ilmu Jarh wa Ta’dil

Dalam ilmu-ilmu keislaman terdapat satu ilmu yang bernama hadits, dalam sub pembahasannya terdapat ilmu Jarh wa Ta’dil, dari ilmu ini diketahui para perawi hadits yang adil dan yang cacat. Dengan memberikan penilaian terhadap para perawi ini maka dapat diketahui kedudukan suatu hadits, apakah shahih, shahih lighairihi, hasan, atau bahkan justru dlo’if (lemah). Jika setelah diteliti ternyata salah satu perawi adalah seorang yang buruk muru’ahnya (tingkah laku), maka ini mempengaruhi derajat riwayat yang disampaikannya. Lebih-lebih jika hadits yang diriwayatkannya itu tentang muru’ah, maka apakah apakah yang diriwayatkannya akan dipercaya . Uniknya, ilmu ini hanya dikuasai minoritas dari umat Islam, sedangkan mayoritas hanya mengikuti.

Belajar dari ilmu Jarh wa Ta’dil di atas. Maka jika yang menjadi pemimpin adalah seorang penyanyi dan penari erotis, maka apakah bisa dijamin orkes-orkes erotis akan berkurang bahkan hilang dari wilayah yang ia pimpin. Minimal, beranikah calon itu berjanji akan melarang bahkan melenyapkan lokalisasi dan orkes-orkes erotis ketia ia berkampanye?
Nilailah bahwa dukungan Mendagri tidak bermuatan politis, jika tidak mau yang menentangnya disebut sebagai orang yang tidak punya akal dan nurani.

Akhirnya, walaupun rakyat/masyarakat pandai memilih, tetapi mereka juga perlu dibimbing.

Pekalongan, 29 April 2010

0 komentar:

  © Blogger templates 'Sunshine' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP